Jumat, 05 Februari 2010

this is a test page.. ignore it...

I am wasted,
for every prayer unspoken
for every thoughts of you
for every wishful thinking slips to mind

I got none returned

I guess it's time to move on
and never look back


I soon withered

*this is a test page, since my 2 latest post didn't appear :)*

...angan-angan tidak bertanggungjawab mengenai museum...

Konon, tahun 2010 dicanangkan sebagai tahun kunjungan museum oleh pemerintah. Mengingat kondisi sebagian besar museum di negara ini yang seperti mati suri, diharapkan pencanangan gerakan tersebut mampu meningkatkan kembali minat masyarakat untuk mengunjungi museum. Saya teringat pada medio 1990-an sebelum era reformasi, kondisi museum di Yogyakarta bisa dikatakan cukup maju. Hampir setiap sekolah negeri memiliki program karyawisata mengunjungi setidaknya satu museum setiap tahunnya. Ditambah lagi dengan adanya beragam lomba dan acara anak-anak yang bertempat di museum, hampir setiap minggu museum menjadi wahana wisata bagi keluarga.
Namun, kondisi saat ini jauh berbeda. Hanya segelintir orang yang mau menghabiskan waktunya di museum. Gelap, kuno dan tidak menarik. Itulah kesan yang menempel pada bangunan museum. Museum jelas kalah hingar-bingar dengan mal, kafe, dan pertokoan-pertokoan yang terserak di penjuru kota. Di Bilbao, Spanyol, sebuah kondisi utopis telah tercipta. Dengan kehadiran sebuah museum bernama Guggenheim karya Frank Gehry, aktivitas perekonomian dan pariwisata kota tersebut mampu terdongkrak. Terlepas dari faktor fisik museum yang sangat mencolok dan nama besar Guggenheim Museum itu sendiri, ada potensi yang besar di balik sebuah museum. 
Lantas, bagaimana agar masyarakat mau untuk sekedar berkunjung ke museum lagi? Apakah renovasi fisik museum menjadi hal yang mutlak dibutuhkan? Bukankah bukan rahasia lagi bahwa keterbatasan dana menjadi alasan klise untuk pengembangan tersebut? 
Saya rasa, sudah sewajarnya jika pihak museum tidak hanya diam menunggu pengujung. Dibutuhkan suatu gerakan proaktif untuk mengajak masyarakat menyambangi museum. Seandainya boleh berangan-angan, saya memiliki beberapa impian mengenai program-program (murah meriah) untuk meningkatkan kunjungan masyarakat ke museum.

·                     Stempel Koleksi Museum
Sistem stempel ini saya temui di Umeda Sky Building, Osaka, Jepang. Di bangunan yang memiliki skygarden tersebut terdapat sebuah stempel dengan ukuran cukup besar yang diletakkan di atas meja kecil. Fungsinya ternyata sederhana saja, stempel tersebut dicapkan pada brosur tempat wisata yang bersangkutan, sebagai penanda bahwa wisatawan benar-benar telah mengunjungi tempat tersebut. Menurut rekan saya yang tinggal di Osaka, pada tempat-tempat wisata di penjuru Osaka memang disediakan stempel-stempel dengan logo yang berbeda.

Saya tiba-tiba teringat dengan stempel yang serupa di Kyushu National Museum, Dazaifu. Disana pengunjung dapat mengambil selembar brosur museum tersebut untuk diberi cap khusus oleh petugas, lengkap dengan tanggal kunjungannya.
Saya kembali berandai-andai, jika saja museum-museum di Yogyakarta memiliki stempel seperti ini, tentunya bisa dimanfaatkan untuk menambah daya tarik pengunjung untuk datang. Untuk anak-anak usia sekolah, dapat disediakan buku (atau lembar) koleksi stempel. Nantinya, jika jumlah stempel mereka telah mencapai kelipatan tertentu (dengan jenis yang berlainan tentunya), dapat ditukarkan dengan hadiah-hadiah kecil seperti alat tulis atau bahkan tiket TransJogja sekali jalan. Selain indah, stempel dengan logo-logo yang berlainan tiap museumnya dapat menjadi barang koleksi bagi kelompok dengan usia yang lebih dewasa.
·                     The Amazing Race
Bayangkan acara The Amazing Race dengan latar museum-museum. Setiap kelompok peserta berlomba-lomba mengikuti petunjuk dengan mengelilingi museum-museum di penjuru kota. Di setiap titik perhentian (check point), peserta diberi beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan koleksi museum tersebut. Siapa bilang hanya landmark kota yang menarik untuk menjadi latar lomba ini?
·                     Night-adventure
Salah satu keinginan saya adalah mengikuti night-tour Museum Bank Indonesia di kawasan Jakarta Kota. Sayangnya, saya sedikit kesulitan untuk mencapai tempat tersebut, tengah malam pula mengingat saya tidak terlalu akrab dengan kota Jakarta. Jika ada night-tour museum sejenis di Yogyakarta, saya pasti akan sangat tertarik mengikutinya. Mungkin night-tour di Museum Benteng Vredeburg atau Museum Sonobudoyo??
·                     Kumpul Komunitas
Di Yogyakarta kita mengenal cukup banyak komunitas lokal, dari komunitas blogger hingga komunitas sepeda tua. Tidak ada salahnya jika pihak museum menggelar tur dengan menggandeng komunitas-komunitas lokal tersebut, tentunya dengan tetap mengaitkan tema tur dengan aktivitas komunitas. Misalkan tur keliling museum dengan sepeda, lomba peliputan museum bagi blogger, atau bahkan hunting foto dengan latar belakang museum untuk penggila fotografi.
·                     Small (yet effective) Compliment
Salah satu museum yang paling nyaman untuk dikunjungi adalah Ulen Sentalu di Kaliurang. Selain karena lokasinya yang berada di kawasan berhawa sejuk, adanya segelas wedang (minuman tradisional jawa) gratis menjadi salah satu faktor penarik bagi saya. Compliment yang sama juga saya dapatkan di Museum Antonio Blanco, Ubud.


Es Sirup Mocca di Museum Antonio Blanco, Ubud, Bali

Seperti sebagian besar manusia Indonesia lainnya, saya cukup tergila-gila dengan unsur ’gratisan’ tadi. Meskipun ongkos masuknya cukup mahal, tapi dengan adanya compliment seperti minuman gratis tadi membuat saya tidak terlalu menyesal mengeluarkan uang. Seandainya semua museum menerapkan compliment seperti kedua museum di atas, kenaikan harga dua ribu hingga lima ribu rupiah mungkin tidak akan dirasa terlalu berat bagi pengunjung.

Peremajaan museum tidak harus selalu diartikan dalam perubahan secara fisik pada struktur bangunan semata, melainkan bagaimana daya tarik museum dapat terus terjaga, dengan peremajaan aktivitas, media, bahkan kombinasi fungsi. Sebuah museum yang dipromosikan melalui situs jejaring sosial, melakukan rotasi beberapa koleksinya setiap bulan, hingga memiliki sarana pelengkap berupa kafe dan souvenir shop tidaklah haram. Yang lebih penting bagaimana substansi isi museum tersebut tetap dapat tersampaikan pada pengunjung, sebagai pembelajaran untuk masa yang akan datang.

Dan sementara menunggu adanya langkah-langkah permajaan baru museum di Indonesia, saya akan tetap bermimpi mengenai Guggenheim Bilbao... :)



Selasa, 12 Januari 2010

...a.piece.of.jogja.biennale...

Hal yang membedakan Yogyakarta dengan kota-kota besar lain di Indonesia adalah denyut seni yang begitu keras detaknya. Tidak ada minggu yang kosong tanpa pameran seni rupa. Seniman tak pernah kehabisan ide untuk menggunakan berbagai tempat sebagai “galeri.” Tidak ketinggalan, warga biasa pun berkarya di ruang-ruang publik. Situasi ini kiranya bisa diibaratkan dalam sebuah idiom jawa, gugur gunung, dimana gotong royong, kebersamaan, masih kental dalam proses sosial berkesenian di Yogyakarta. Dinamika ini bisa juga dilukiskan sebagai jam session dimana masing masing seniman saling berdialog, berbagi, serta menciptakan kreasi dalam harmoni.

Gerak kreatif tersebut telah melahirkan karya monumental dan wacana yang menandai semangat di setiap zamannya, seperti humanisme kerakyatan, humanisme universal, perlawanan terhadap kemapanan estetika, pergolakan antara budaya lokal dan global, dan seni rupa urban.

Biennale Jogjakarta X-2009 bertajuk “Jogja Jamming: Gerakan Arsip Seni Rupa” merupakan refleksi dari dinamika tersebut. Refleksi ini dituangkan dalam dua praktik, yaitu penafsiran perupa terhadap semangat zaman di atas dan pameran arsip. Dalam konteks ini, pemaknaan terhadap arsip bukanlah sekadar benda mati, tetapi juga ingatan yang hidup di masa kini.

Praktik ini dihantar oleh 126 perupa yang menggelar karya-karya menarik di Taman Budaya Yogyakarta, Sangkring Art Space, Jogja National Museum. Sementara pameran arsip akan digelar di Gedung Bank Indonesia. Kemudian lebih dari 200 perupa dan warga kota akan melebur bersama untuk merespon sudut-sudut kota. Pada titik ini, biennale bukan sekadar mempertontonkan karya seni rupa, tetapi juga ruang bagi beroperasinya sebuah kultur.
(http://biennalejogja.com/kuratorial/)


This year is my first visit to the biennale. Apparently, this year is the biggest jogja biennale. I can tell by the number of the visitor and the pictures published by my friends in facebook.. Haha!

Since I'm not good arranging words into beautiful sentences, so here are few photographs taken from Jogja Biennale 2009!



bapak-asisten-perupa yang tekun bekerja



heeeeii... i'm yellow!



gumpalan besar boneka



dia teratai!



pengumuman mengenai tidak membuat pengumuman



celebration of honesty... with pinocchio


enteni = wait for me in javanese



running upward



I'm fine art, thank you...



Senin, 12 Oktober 2009

...life's.a.beach...

I found these beautiful beaches during my trip to Gunung Kidul for some refreshing event with my pals. It takes 2 hours to get there by car. Drini beach located near Kukup, while Ngobaran beach only 5 minutes from Ngrenehan beach.

Also, there are some villas at Kukup Beach that can be rented with only 350 IDR per night (air conditioner included). Just prepare to bring your own mattress or bed sheet, if you are quite picky about the facilities...

Those beaches are quite undiscovered now, but I'm sure they will become popular tourist destinations soon...


big rocks at Drini beach


some kind of seaweed living on top of the rocks


cloudy sunset at Ngobaran beach


local villagers collecting seaweed


sunset at Ngobaran, blocked by a cliff

Rabu, 09 September 2009

...a.view.from.the.top...

these pics were taken on the way home from Fukuoka, with transit in Singapore.

somewhere above the ocean


popcorn-shaped clouds


Singapore below


[it's supposed to be a] sunset

Senin, 07 September 2009

.children.of.heaven.

no, I'm not a phaedophil... just can't stand to see their innocent faces.


khusni


no, he's not a beggar...


why are they crying???


sigit bro, kayak pesan layanan masyarakat :jangan putus sekolah: aja


sigitbro again...



zaki, 2.5 years, 17 kilos


ochi and zaki


oww.. look at that eyes...


Minggu, 06 September 2009

...a.slight.view.of.osaka...

5 hours Nozomi round-trip journey.
12 hours spent.
Two companions.
Umeda. Namba. Amerika-mura. Shinsaibashi. Umeda.


Oh, yeah, and 26,000 yen spent.
What a day.

somewhere in Umeda


nice riverfront


constellation map in Umeda Sky Bldg


rush hour in Umeda


reflection of the sky




panorama of osaka, through the roof garden of Umeda Sky Bldg


with my companions