Konon, tahun 2010 dicanangkan sebagai tahun kunjungan museum oleh pemerintah. Mengingat kondisi sebagian besar museum di negara ini yang seperti mati suri, diharapkan pencanangan gerakan tersebut mampu meningkatkan kembali minat masyarakat untuk mengunjungi museum. Saya teringat pada medio 1990-an sebelum era reformasi, kondisi museum di Yogyakarta bisa dikatakan cukup maju. Hampir setiap sekolah negeri memiliki program karyawisata mengunjungi setidaknya satu museum setiap tahunnya. Ditambah lagi dengan adanya beragam lomba dan acara anak-anak yang bertempat di museum, hampir setiap minggu museum menjadi wahana wisata bagi keluarga.
Namun, kondisi saat ini jauh berbeda. Hanya segelintir orang yang mau menghabiskan waktunya di museum. Gelap, kuno dan tidak menarik. Itulah kesan yang menempel pada bangunan museum. Museum jelas kalah hingar-bingar dengan mal, kafe, dan pertokoan-pertokoan yang terserak di penjuru kota. Di Bilbao, Spanyol, sebuah kondisi utopis telah tercipta. Dengan kehadiran sebuah museum bernama Guggenheim karya Frank Gehry, aktivitas perekonomian dan pariwisata kota tersebut mampu terdongkrak. Terlepas dari faktor fisik museum yang sangat mencolok dan nama besar Guggenheim Museum itu sendiri, ada potensi yang besar di balik sebuah museum.
Lantas, bagaimana agar masyarakat mau untuk sekedar berkunjung ke museum lagi? Apakah renovasi fisik museum menjadi hal yang mutlak dibutuhkan? Bukankah bukan rahasia lagi bahwa keterbatasan dana menjadi alasan klise untuk pengembangan tersebut?
Saya rasa, sudah sewajarnya jika pihak museum tidak hanya diam menunggu pengujung. Dibutuhkan suatu gerakan proaktif untuk mengajak masyarakat menyambangi museum. Seandainya boleh berangan-angan, saya memiliki beberapa impian mengenai program-program (murah meriah) untuk meningkatkan kunjungan masyarakat ke museum.
· Stempel Koleksi Museum
Sistem stempel ini saya temui di Umeda Sky Building, Osaka, Jepang. Di bangunan yang memiliki skygarden tersebut terdapat sebuah stempel dengan ukuran cukup besar yang diletakkan di atas meja kecil. Fungsinya ternyata sederhana saja, stempel tersebut dicapkan pada brosur tempat wisata yang bersangkutan, sebagai penanda bahwa wisatawan benar-benar telah mengunjungi tempat tersebut. Menurut rekan saya yang tinggal di Osaka, pada tempat-tempat wisata di penjuru Osaka memang disediakan stempel-stempel dengan logo yang berbeda.
Saya tiba-tiba teringat dengan stempel yang serupa di Kyushu National Museum, Dazaifu. Disana pengunjung dapat mengambil selembar brosur museum tersebut untuk diberi cap khusus oleh petugas, lengkap dengan tanggal kunjungannya.
Saya kembali berandai-andai, jika saja museum-museum di Yogyakarta memiliki stempel seperti ini, tentunya bisa dimanfaatkan untuk menambah daya tarik pengunjung untuk datang. Untuk anak-anak usia sekolah, dapat disediakan buku (atau lembar) koleksi stempel. Nantinya, jika jumlah stempel mereka telah mencapai kelipatan tertentu (dengan jenis yang berlainan tentunya), dapat ditukarkan dengan hadiah-hadiah kecil seperti alat tulis atau bahkan tiket TransJogja sekali jalan. Selain indah, stempel dengan logo-logo yang berlainan tiap museumnya dapat menjadi barang koleksi bagi kelompok dengan usia yang lebih dewasa.
· The Amazing Race
Bayangkan acara The Amazing Race dengan latar museum-museum. Setiap kelompok peserta berlomba-lomba mengikuti petunjuk dengan mengelilingi museum-museum di penjuru kota. Di setiap titik perhentian (check point), peserta diberi beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan koleksi museum tersebut. Siapa bilang hanya landmark kota yang menarik untuk menjadi latar lomba ini?
· Night-adventure
Salah satu keinginan saya adalah mengikuti night-tour Museum Bank Indonesia di kawasan Jakarta Kota. Sayangnya, saya sedikit kesulitan untuk mencapai tempat tersebut, tengah malam pula mengingat saya tidak terlalu akrab dengan kota Jakarta. Jika ada night-tour museum sejenis di Yogyakarta, saya pasti akan sangat tertarik mengikutinya. Mungkin night-tour di Museum Benteng Vredeburg atau Museum Sonobudoyo??
· Kumpul Komunitas
Di Yogyakarta kita mengenal cukup banyak komunitas lokal, dari komunitas blogger hingga komunitas sepeda tua. Tidak ada salahnya jika pihak museum menggelar tur dengan menggandeng komunitas-komunitas lokal tersebut, tentunya dengan tetap mengaitkan tema tur dengan aktivitas komunitas. Misalkan tur keliling museum dengan sepeda, lomba peliputan museum bagi blogger, atau bahkan hunting foto dengan latar belakang museum untuk penggila fotografi.
· Small (yet effective) Compliment
Salah satu museum yang paling nyaman untuk dikunjungi adalah Ulen Sentalu di Kaliurang. Selain karena lokasinya yang berada di kawasan berhawa sejuk, adanya segelas wedang (minuman tradisional jawa) gratis menjadi salah satu faktor penarik bagi saya. Compliment yang sama juga saya dapatkan di Museum Antonio Blanco, Ubud.
Es Sirup Mocca di Museum Antonio Blanco, Ubud, Bali
Seperti sebagian besar manusia Indonesia lainnya, saya cukup tergila-gila dengan unsur ’gratisan’ tadi. Meskipun ongkos masuknya cukup mahal, tapi dengan adanya compliment seperti minuman gratis tadi membuat saya tidak terlalu menyesal mengeluarkan uang. Seandainya semua museum menerapkan compliment seperti kedua museum di atas, kenaikan harga dua ribu hingga lima ribu rupiah mungkin tidak akan dirasa terlalu berat bagi pengunjung.
Peremajaan museum tidak harus selalu diartikan dalam perubahan secara fisik pada struktur bangunan semata, melainkan bagaimana daya tarik museum dapat terus terjaga, dengan peremajaan aktivitas, media, bahkan kombinasi fungsi. Sebuah museum yang dipromosikan melalui situs jejaring sosial, melakukan rotasi beberapa koleksinya setiap bulan, hingga memiliki sarana pelengkap berupa kafe dan souvenir shop tidaklah haram. Yang lebih penting bagaimana substansi isi museum tersebut tetap dapat tersampaikan pada pengunjung, sebagai pembelajaran untuk masa yang akan datang.
Dan sementara menunggu adanya langkah-langkah permajaan baru museum di Indonesia, saya akan tetap bermimpi mengenai Guggenheim Bilbao... :)